Senin, 14 November 2016

Untukmu Sahabat

Sahabat, ingatkah kau?

Kali pertama kita bertemu di tahun ajaran baru perkuliahan, status kita masih maba (mahasiswa baru). Saat itu kita sedang ramai di BAK fakultas kita -entah untuk urusan apa, mungkin menyetor KRS (kartu rencana studi),  yang jelas hari itu semua maba jadi tau nomor stambuknya. Kebanyakan kita belum saling mengenal, kecuali sebagian teman yang kebetulan berasal dari SMA yang sama atau dari lingkungan tempat tinggal yang sama. Begitupun kita. Ada hal menarik di hari itu yang ternyata menjadi perhatianmu  -dan di kemudian hari kau menceritakannya padaku- yaitu bahwa nomor stambuk kita berurutan. Aku 050 dan kau 051. Kau menyadari itu. Ketika kemudian nama-nama kita dipanggil beserta nomor stambuk oleh pegawai BAK, dan tiba giliranku, kau berkata dalam hati, “Oh ini yang nomor stambuknya 050.” Dari situ kau mulai mengenalku walau baru sebatas rupa dan nama, sedang aku belum lagi mengenalmu. Mungkin karena sifatmu yang ceria dan supel, kau bisa dengan mudah mengenali orang. Sementara aku yang cenderung kalem dan pragmatis, tidak demikian. Waktu itu angkatan kita masih menerapkan penataran P4 secara random. Aku penataran di fakultas kita sedang dirimu di fakultas ISIP. Saat opspek semua maba dikembailkan ke fakultasnya masing-masing. Saat itulah aku mulai mengenali wajah sebagian teman-teman maba termasuk dirimu, mungkin karena sifatmu yang ceria itu tadi sehingga mudah dikenali, tapi namamu sama sekali belum aku tau.

Tibalah saatnya kita mengikuti perkuliahan perdana. Teman-teman mulai berkenalan. Yang duduknya berdekatan mulai saling bertegur sapa. Termasuk kita berdua tentu saja.

Awal-awal perkuliahan itu kita belumlah menjadi teman akrab. Sebatas sering berkumpul bersama dengan teman- teman lain saja. Aku justru akrab dengan beberapa  teman lain dan akhirnya kami menjadi geng yang kemana-mana selalu bersama. Sementara dirimu akrab dengan siapa saja tanpa memilih-milih teman. Kau bisa masuk di geng mana saja dan bisa membawa diri dengan baik. Sering saat aku dan gengku berkumpul kaupun juga ikut bergabung bersama kami dan meramaikan suasana dengan keceriaanmu. Dan dimana saja ada dirimu, pasti kami semua terbawa suasana ceria penuh canda tawa. Kau pandai meramu suasana menjadi gembira dengan cerita dan tingkahmu yang kocak. Banyak pengalaman konyolmu yang kau bagi saat kita bersama dan membuat kami semua tertawa.

Menjadi mahasiswa memang menyenangkan. Banyak hal-hal yang tidak kita temukan saat sekolah, tetapi di perguruan tinggi bisa kita dapatkan. Salah satunya kebebasan. Bebas memilih mata kuliah, bebas memilih mau masuk kelas atau tidak (konsekuensinya kehadiran tidak boleh di bawah 75 persen untuk bisa mengikuti ujian), termasuk bebas memilih eksul yang diminati. Di kampus kita, senior-senior mulai sibuk mengiklankan ekskul mereka kepada mahasiswa baru. Dari ngobrol-ngobrol denganmu seputar ekskul, kita berdua ternyata memiliki minat yang sama, yaitu ingin menjadi mahasiswa pencinta alam (Mapala). Waktu itu yang terlintas di benak kita adalah betapa menyenangkannya bisa menikmati keindahan alam.

Proses untuk menjadi mapala pun kita lalui bersama. Ada seorang teman gengku yang juga berminat masuk mapala, jadilah kita bertiga mendaftarkan diri. Mulai dari mengisi formulir, mengikuti materi kelas hingga pendidikan dasar (diksar) di alam bebas. Oh ya, sewaktu pertama kali kita dikumpulkan oleh senior mapala, ternyata angkatan diksar kita ada 12 orang yang terdiri dari 4 perempuan dan 8 laki-laki. Kita semua berkenalan. Yang seangkatan kuliah kita ada 5 orang, sedang yang 7 orang lagi senior. Kita berempat perempuan adalah teman seangkatan hanya saja yang seorang lagi berbeda jurusan. Sejak saat itu kita berempat menjadi teman akrab. Sayangnya, teman gengku itu pindah kuliah kembali ke kotanya. Tinggallah kita bertiga yang langsung menjadi sahabat, kemana-mana selalu bersama. Walaupun aku masih sering berkumpul bersama gengku, tapi waktu untuk kita bertiga berkumpul pun selalu ada. Entah itu di camp (sekretariat mapala) ataupun di rumah salah seorang dari kita. Paling seringnya kita kumpul di rumah A, karena dia memiliki 3 orang saudara yang semuanya perempuan hampir seumuran dengan kita, bahkan 2 orang saudaranya pun anak mapala. Orangtuanya sudah terbiasa dengan aktifitas anak-anaknya, sehingga kita lebih nyaman berkumpul di rumahnya bahkan sampai menginap.

Sahabat, ingatkah kau?

Ada cerita lucu sewaktu diksar. Waktu itu kita sedang mengikuti materi lapangan. Salah seorang senior kita mengajarkan materi ormed (orientasi medan). Setelah selesai materi, satu-persatu kita ditanyai mengenai materi yang baru saja dberikan. Dari seluruh peserta diksar, hampir semua bisa menjawab pertanyaan yang diajukan, kecuali dirimu. Padahal pertanyaan tersebut tidaklah sulit, mungkin pengaruh udara yang sangat dingin di shelter 2 waktu itu sampai jawabanmu tidak benar. Berulangkali ditanya, jawabanmu tetap salah. Teman-teman lain berusaha membantu tapi kau tetap tak mengerti. Dan akhirnya kaupun menyerah. Dengan wajah yang innocent kaupun menjawab, “saya tidak tau kak.” Kontan saja senior-senior yang ada disitu pun tertawa melihat mimikmu saat mengatakan itu. Kami peserta diksar hanya bisa tersenyum karena takut dihukum. Tapi akibat kau tak bisa menjawab, kita semua terkena hukuman (hukumannya bersifat kolektif). Kita dihukum 1 seri (set) yang terdiri dari push up 10 kali, scuat jump 10 kali dan sit up 10 kali. Kadang-kadang kalau ada yang buat salah lagi, senior tidak segan-segan memberi hukuman 3 seri. Berarti kelipatan 3 dari 1 seri. Tentu saja kita tidak sanggup menyelesaikan semua serinya, maka dari itu kita berutang seri yang harus “dibayar” kapanpun senior memintanya. Kita semua akhirnya berhasil menyelesaikan diksar dan memperoleh slayer abu-abu.

Kemudian kita bersama-sama mengikuti Wajib Daki untuk pengambilan slayer kuning (syarat untuk menjadi anggota penuh). Waktu itu yang tersisa tinggal 7 orang, yang 5 lainnya sudah tereliminasi di diksar. Kata orang, jika ingin mengetahui sifat asli seseorang, ajaklah dia naik gunung. Ada benarnya juga, karena dingin yang menusuk sampai ke tulang, belum lagi kelelahan dalam perjalanan mendaki, belum lagi rasa lapar yang mendera, kadang membuat seseorang tidak bisa menahan egonya. Saat itu hari sudah senja ketika kita sampai di padang edelweis. Para senior sudah menunggu. Kita semua langsung dihukum 1 seri karena telat sampai. Tidak tanggung-tangung hukumannya, disuruh berendam di sungai. Tau sendiri kan air sungai di atas gunung dinginnya na’udzubillah. Kalau saja bukan karena Wajib Daki mana mau aku disuruh berendam. Sedangkan mendaki gunung untuk fun saja aku hanya mampu cuci muka dan sikat gigi. Berwudhu pun aku hanya mampu mengusap bukan membasuh, itupun hanya sekali untuk setiap anggota tubuh yang wajib terkena air wudhu (karena yang wajib hanya sekali) saking dinginnya. Tapi begitulah, semua prosesnya harus dijalani jika ingin menjadi anggota penuh. Sekira 15 menit direndam, kita lalu disuruh mendirikan bivak masing-masing tanpa boleh ganti baju alias masih dengan baju basah. Kita segera mencari lokasi masing-masing yang dirasa cocok untuk mendirikan bivak. Aku menemukan lokasi yang aku rasa cocok karena ada 1 pohon dan ilalang-ilalang disekitarnya. Tinggal mencari kayu panjang untuk dijadikan tonggak agar bivaknya bisa berdiri. Setelah mendapatkan empat potong kayu akupun kembali ke tempat yang aku rencanakan untuk bivak. Tapi betapa terkejutnya aku ketika melihat kau sedang sibuk mendirikan bivakmu di situ. Padahal aku sudah lebih dulu meng-kapling tempat itu, dan kau tau itu, sebab aku mengumumkannya dan aku pastikan terdengar oleh teman-teman peserta Wajib Daki yang lain. Aku protes, tapi kau tak menggubris. Alasanmu kau menganggap tempat itu kosong jadi kau putuskan untuk memakainya. Tentu saja kosong, kataku, karena aku masih mencari kayu untuk tonggak. Kita sempat adu mulut saat itu tapi akhirnya aku mengalah. Aku tidak jadi mendirikan bivak karena hari sudah mulai gelap dan aku tidak menemukan lokasi yang dekat dengan teman-teman yang lain. Aku tidak mau mendirikan bivak di tempat yang lebih jauh. Untungnya senior-senior mengerti. Malamnya, kita tidur dalam 1 bivak yaitu di bivak A karena hujan, dan bivakmu terlalu kecil sehingga kecipratan air hujan. Kita bertiga tidur bersempit-sempit sambil menggigil karena tidur dengan baju basah.

Sejak mulai diksar di gunung N hingga Daki Wajib di gunung R tepatnya di padang edelweis, kau selalu menjadi favorit senior-senior. Mereka suka mengganggumu hanya agar mereka bisa tertawa. Kau selalu bisa membuat kami semua  tertawa walaupun tanpa kau sadari. Oh ya, sahabat kita A dulu sewaktu SMA sudah aktif di ekskul pencinta alam, jadi dia sudah berpengalaman di alam bebas. Dia lebih tangkas dan lebih gesit daripada kita berdua. Tapi dibandingkan kalian berdua, akulah yang paling lemah secara fisik. Tubuhku kurus. Berat badanku waktu itu kisaran 38-39 kg. Berat badan A kalo aku taksir mungkin saat itu 43 atau 44 kg. Dan kau, badanmu lebih berisi, mungkin kisaran 46 atau 47 kg.Singkat cerita, akhirnya kita bertujuh resmi menjadi anggota penuh.

Sahabat, ingatkah kau?

Kejadian perebutan tempat bivak itu adalah yang pertama kalinya kita berselisih. Tapi setiap kali terjadi perselisihan, kita selalu saling memaafkan dan tidak sedikitpun mengurangi persahabatan kita. Justru perbedaan itulah yang membuat kita unik. Kita bertiga memiliki karakter yang berbeda. A adalah seorang yang cerdas, mandiri (selalu berusaha menyelesaikan permasalahan atau pekerjaan seorang diri dan tidak mau dibantu), sebaliknya suka membantu orang lain menyelesaikan masalahnya. Lebih bisa berpikir jernih dalam memutuskan sesuatu, tapi cenderung ceroboh dalam melakukan sesuatu. Dia juga panikan dan kerasa kepala. Dan khususnya untuk  masalah “hati” dia cenderung tertutup. Meskipun begitu, dia sangat care dan senang menolong teman. Jika ada yang butuh pertolongan dialah yang lebih dulu menawarkan. Dia selalu berusaha menyenangkan orang lain. Kau sendiri adalah seorang yang agak sulit dimengerti. Kau agak cerewet dan keras kepala. Cenderung tidak peduli hal-hal kecil. Meskipun begitu keceriaanmu membuat hadirmu selalu dirindukan. Kau juga mandiri (ini karena kau tinggal di rumah nenekmu, sebab orangtuamu jauh). Kau pintar masak, pandai mengurus rumah dan pandai mengurus anak. Tantemu punya 3 orang anak yang sejak mereka kecil kau yang mengurus. Kau juga punya saudara-saudara kandung dan saudara-saudara sepupu yang selalu mengandalkanmu untuk mengurus mereka. Kau sangat keibuan di rumah, sebaliknya di luar rumah kau begitu tegar dan kuat bagai batu karang. Tinggal jauh dari orangtua sejak SMA membuatmu lebih cepat dewasa. Tentunya berbeda dengan kami  berdua yang tinggal dengan orangtua, beban hidup tidaklah seberat dirimu. Tapi kau mampu menutupinya dengan keceriaan dan kerianganmu. Jika ada orang yang hanya mengenalmu sekilas, pasti mereka akan berpikir bahwa kau tidak punya beban hidup. Itu karena kau selalu ceria. Menurutku kau hebat dalam hal-hal tertentu yang aku maupun A tidak bisa melakukannya. Mengenai diriku (aku hanya mendengar dari kalian berdua dan dari orang-orang terdekat), pembawaanku kalem, lembut, suka mengalah, sensitif, sangat detail, dan perfeksionis. Nah, berbeda sekali bukan? Kesamaan kita bertiga adalah kita supel, mudah bergaul dengan siapa saja. Sehingga tidak heran kita bertiga begitu dikenal (mungkin karena perempuan yang bergabung di mapala sangat sedikit sehingga mudah dikenali) hingga ke fakultas lain, bahkan ke kampus lain. Oh ya, kita bertiga punya julukan ‘3 rembulan’. Entah siapa yang memulai memberi julukan itu, dan itu melekat hingga sekarang.

Sahabat, ingatkah kau?

Kita bertiga punya ritual, siapa yang berulang tahun harus menraktir, dan yang tidak berulang tahun harus memberi kado. Setiap tahun selama kuliah kita melakukan itu. Kadang-kadang tanpa kado karena maklum saja masih mahasiswa. Kadang-kadang pula traktirannya hanya berupa pisang goreng yang kita nikmati bersama di senja hari di tepi pantai sambl memandangi ombak yang berdebur. Oh ya, kita bertiga juga suka pantai, khususnya aku dan A. Kau sudah terbiasa dengan pantai karena rumah orangtuamu di kampung letaknya dekat dengan pantai. Kau bahkan pandai berenang, sementara aku dan A tidak bisa.

Kadang kalau aku dan A ke rumahmu, kami mendapati kau sedang memasak. Kita lalu makan bersama. Masakanmu enak, kami menyukainya. Kau juga tau sambal kesukaanku dan kau selalu membuatkannya untukku setiap kali aku ke rumahmu. Kadang pula jika kau pulang kampung, aku selalu menitip dibuatkan kue bingka. Ibumu paling jago membuat bingka, apalagi kalau dicampur durian, enak sekali. Dan kau selalu membawakannya untukku. Untuk masalah “hati” pun kita lebih sering bercerita (curhat) berdua ketimbang dengan A. Kau lebih terbuka menceritakan hubunganmu dengan lawan jenis kepadaku, begitupun aku. Sedangkan A, karena dia lebih tertutup untuk hal-hal seperti itu, kitapun jadi agak malu untuk terbuka padanya. A teman yang asyik untuk curhat sebenarnya, karena dia selalu bisa memberikan solusi yang menenangkan. Untuk masalah-masalah yang lain, tempat curhat kita adalah A.

Kadang jika sedang diskusi dengan teman-teman di camp, kalian berdua paling gigih mempertahankan pendapat masaing-masing, tidak ada yang mau mengalah. Itu karena kalian berdua sama-sama keras kepala. Kadang pula kita bertiga sependapat dalam 1 hal, lalu saling mendukung mempertahankan pendapat. Teman-teman diskusi kita sampai kewalahan berdebat dengan kita. Ah, benar-benar seru masa-masa kuliah kita dulu.  

Sahabat, ingatkah kau?

Suatu kali kita pernah pergi mendaki gunung bersama ke padang edelweis. Tujuan sebenarnya adalah ke danau yang terletak di atas gunung itu. Jalur untuk kesana melewati padang edelweis. Waktu itu kalau tidak salah kita ada 10 orang. Perempuan 4 orang; aku, kau, dan yang 2 lagi junior kita. Kita mendirikan tenda di padang edelweis. Esoknya, pagi-pagi setelah sarapan, perjalanan menuju danau pun dimulai. Rencananya siang hari ketika balik dari danau kita langsung berangkat pulang. Kau dan 1 orang junior kita yang perempuan tidak ikut. Kalian berdua mengajukan diri menjaga tenda. Sungguh disayangkan sebenarnya, karena jauh-jauh kesana tapi tidak terus sampai ke danau. Padahal danau tersebut belum begitu dikenal orang. Untuk sampai kesana pun medannya cukup sulit, harus membuka jalur baru, sampai-sampai kita harus memasang string line agar tidak tersesat di perjalanan pulang. Tapi kau tetap pada keputusanmu. Akhirnya kami berdelapan pun berangkat dengan tidak lupa membuat kesepakatan untuk tidak memetik edelweis karena bunga itu sudah mulai langka. Setelah melalui perjalanan yang cukup sulit akhirnya kami menemukan danau tersebut. Saat itu siang hari dan panasnya sangat terik. Tidak ada tempat berteduh karena di atas gunung itu pepohonannya kering meranggas. Kami sangat lelah dan haus. Tapi semua itu terbayar saking puas dan senangnya dapat menemukan danau yang selama ini hanya kami dengar-dengar saja namanya. Kami merasa sangat beruntung. Tidak lama-lama berada di danau, kamipun turun karena akan langsung berangkat pulang. Sesampainya di padang edelweis, dari kejauhan aku melihat kau dan junior kita sedang asik memetik bunga edelweis. Aku menghampirimu dan mengingatkan agar jangan dipetik lagi, tapi kau tidak mengindahkan. Kau terus saja memetik edelweis. Itu menyebabkan kita beradu mulut lagi. Setelah beristrahat sejenak, kitapun segera mengemasi barang-barang. Karena hari sudah sore jadi harus bergegas agar tidak kemalaman di jalan. Kitapun akhirnya pulang.

Sahabat, ingatkah kau?

Saat kau tidak mengindahkan teguranku untuk tidak memetik edelweis lagi itu sangat membekas di hatiku. Bukankah kita sudah sepakat untuk tidak memetiknya?  Tapi mengapa kau melanggar kesepakatan itu? Padahal harusnya kau menjadi contoh untuk junior kita bukannya malah bersama-sama melanggar kesepakatan. Junior kita mencontoh dirimu. Dia tidak mungkin berani memetik edelweis karena takut dimarahi oleh senior-seniornya. Hal seperti itu mungkin menurutmu sepele, tapi menurutku itu hal yang prinsipil.

Keesokan harinya di kampus, aku menghindarimu. Masih kesal rasanya. Seharian itu aku berkumpul dengan gengku. Tapi sehari saja kita tidak bertegur sapa rasanya seperti seminggu. Sungguh aku tidak bisa lama mendiamkanmu. Walau bagaimanapun kau adalah sahabatku. Besoknya, aku yang lebih dulu menegurmu dan akhirnya kita kembali seperti biasa lagi.

Sahabat, ingatkah kau?

Kau yang pertama kali menjulukiku “miss perfect”. Karena menurutmu aku  perfeksionis. Apa-apa harus sempurna. Tulisan rapi, catatan perkuliahan rapi, Lipatan baju di lemari rapi, tempat tidur rapi, dan semua-semuanya harus rapi. “Rapi jali” istilahmu. Kau bahkan pernah berkomentar ketika melihat tempat tidurku yang rapi, “Kalau rapi begini bisa-bisa terlalu nyenyak nanti tidurnya, jadi tidak bisa bangun tahadjud.” Ah, kata-katamu itu masih terngiang hingga sekarang. Kau sahabatku yang selalu menjaga solat lima waktu.

Sahabat, ingatkah kau?

Kita pernah jalan berdua ke lokasi jembatan yang belum jadi. Kau membawa kamera digital. Sampai disana kita foto-foto. Waktu itu belum zamannya handphone, apalagi yang pakai kamera. Sedang asyik foto-foto, tiba-tiba datang seorang ibu minta difoto juga. Kau mengiyakan. Kau potretlah ibu itu beberapa kali dengan berbagai posenya. Setelah itu si ibu minta di antarkan fotonya ke rumahnya. Dia lalu memberikan alamat lengkapnya. Aku sudah punya firasat pasti foto-foto si ibu tidak akan kau antarkan ke rumahnya. Bahkan tidak akan kau cetak fotonya. Sempat aku bilang padamu agar jangan berjanji, tapi seperti biasa kau tidak menggubris. Kau berjanji pada ibu itu akan mengantarkannya. Setelah ibu itu pergi, kita sempat adu mulut lagi. Menurutmu, kau hanya ingin menyenangkan ibu itu, tapi menurutku kau memberi harapan palsu. Kasian ibu itu pasti menunggu-nunggu fotonya. Kau tetap bersikeras hanya ingin menyenangkan hatinya. Aku tau maksudmu baik, tapi bukankah lebih baik jika tidak berbohong? Dan benarlah, foto ibu itu jangankan kau antarkan, kau cetak pun tidak. Ah, betapa kita selalu berselisih untuk hal-hal yang tidak kau anggap penting, sebaliknya menurutku penting.

Sahabat, ingatkah kau?

Waktu kuliah dulu kita bertiga mengidolakan penyanyi yang sama. Semua lagu milik penyanyi itu kita suka. Bahkan A punya semua albumnya (dulu masih berupa kaset). Biasanya kalau kita sedang menginap di rumah A, kita sering memutar lagu favorit kita sambil ikut bernyanyi. Aku dan A menyanyi biasa saja, sementara kau menyanyi dengan penuh penghayatan. Apalagi kalau itu lagu romantis atau lagu patah hati, kau akan menyanyikannya dengan wajah sendu dan dengan mata terpejam. Ah, sungguh pemandangan yang menghibur. Aku dan A pun tertawa jadinya.

Kau dan A suka sekali menyanyi. Suara kalian bagus. Biasanya kalau ada hajatan yang mengundang kita bertiga, pasti kalian berdua dengan senang hati menyumbangkan lagu. Aku biasanya hanya ikut-ikutan menyanyi saja biar ramai. Kalau ada teman yang sedang bermain gitar, kau dan A langsung merubungnya dan minta diiringi bernyanyi. Teman itupun sampai kelelahan dan menyerah karena terlalu lama melayani kalian.
Waktu kuliah dulu kita bertiga selalu bersama. Selalu saling bela jika ada salah seorang dari kita dijelek-jelekkan oleh orang lain. Jika ada orang yang berkata buruk tentangmu, maka aku dan A adalah pembela yang utama dan terdepan. Begitu pula jika ada yang berkata buruk tentangku dan A, maka kau akan jadi pembela utama. Kita selalu saling menyemangati dan memotivasi. Mungkin mereka iri melihat persahabatan kita. Karena walaupun ada riak-riak yang membuat kita berselisih, kita selalu saling mencari, selalu saling membutuhkan, dan selalu saling memaafkan. Dalam suka dan duka kita selalu bersama. Bercanda, tertawa, dan menangis bersama.

Sahabat, ingatkah kau?

Kau lebih dulu diwisuda ketimbang aku dan A. 6 bulan setelah kau wisuda, aku dan A pun diwisuda. Bahagia rasanya telah menyelesaikan kuliah, tetapi juga sedih karena harus berpisah dengan teman-teman kuliah. Singkat cerita, kau kembali ke kampungmu dan menjadi PNS di kotamu. A menjadi PNS juga di salah satu kabupaten yang dekat dari kota P, hanya berjarak 45 menit. Sementara aku bekerja di salah satu kabupaten yang sangat jauh dari kota P, 14 jam perjalanan darat ditambah 2 jam perjalanan laut, juga menjadi PNS.

Sebagai PNS yang bertugas di lapangan, aku menjadi lebih sibuk dari hari ke hari. Kita mulai jarang berkomunikasi karena sibuk dengan urusan masing-masing. Tapi setiap kali aku pulang ke kotaku, yaitu kota P, kita sempatkan untuk kumpul. Kaupun menyempatkan diri untuk datang karena kampungmu lumayan dekat dari kota P, hanya berjarak 2 jam perjalanan. Apalagi kau juga melanjutkan studi S2 di kota P yang perkuliahannya seminggu 2 kali. Kau dan A lebih sering bertemu. Kadang kau menginap di rumahnya jika kau sedang ada mata kuliah. Kadang kalian berdua hang out, nonton atau makan bersama. Aku memang sering absen karena tidak memungkinkan untuk bisa pulang setiap saat.

Kita jalan bareng lagi bulan Maret yang lalu saat ada gerhana matahari total di kotaku. Aku, kau, A, seorang teman gengku, dan keluarga A menyaksikan gerhana matahari dari salah satu spot yang kebetulan disitu ada beberapa orang peneliti dari Jepang. Setelah itu kita makan bersama di rumah keluarga A.  

7 bulan yang lalu aku mendengar kabar bahagiamu, bahwa kau akan menikah dengan seseorang yang sedang menjalin hubungan denganmu kurang dari setahun. Aku turut bahagia mendengarnya, mengingat kau yang paling sering galau urusan jodoh. Pernikahanmu akan dilangsungkan bulan Mei, bulan dimana aku sedang sibuk-sibuknya dengan agenda nasional yang dilaksanakan setiap 10 tahun sekali, yang waktu pelaksanaannya sebulan penuh selama bulan Mei. Sedang sibuk-sibuknya di lapangan, aku jatuh sakit. Aku putuskan untuk pulang ke kotaku agar bisa mendapatkan perawatan lebih. Aku hanya diberi izin seminggu dari kantor. Sementara hari pernikahanmu kian dekat tetapi aku tidak mungkin bisa menambah izin lagi karena pekerjaan lapangan menunggu. Akhirnya aku dan 2 orang teman gengku sepakat untuk ke kampungmu sehari sebelum pernikahanmu. Kau terlihat bahagia saat itu. Kita makan siang bersama di rumahmu. Kami sengaja datang sehari sebelumnya karena keesokan harinya aku sudah harus kembali ke tempat tugasku sedangkan 2 orang teman gengku punya urusan masing-masing yang tidak bisa ditunda. Kau bercerita bahwa kau baru saja ujian tesis 3 hari sebelumnya sehingga fiskmu agak sedikit lelah. Aku bahagia mendengarnya. Aku minta maaf karena tidak dapat menghadiri pernikahanmu besoknya, dan kau memaklumi itu. Besoknya, aku boarding pagi-pagi sekali. Hari itu juga aku sampai di tempat tugas, dan di hari itu juga kau menikah.

2 bulan yang lalu aku kembali lagi ke kotaku. Aku dengar kabarmu telah mengandung 4 bulan. Aku bahagia mendengarnya. aku dan A janjian hang out bareng tanpa dirimu karena kondisimu agak lemah selama trimester pertama. Kami bergantian ngobrol denganmu via hp. kau katakan padaku bahwa kau diharuskan bed rest oleh dokter. Kau tidak diizinkan mengendarai sepeda motor sendiri, jadi setiap kali ke kantor kau diantar jemput oleh suamimu. Aku sarankan agar kau banyak istrahat, jangan dipaksakan ke kantor jika memang kondisimu lemah. Dan kau mengiyakan.

Seminggu yang lalu aku melihat di facebook ada postingan status terbarumu sedang di Rumah Sakit, lengkap dengan foto lenganmu yang diplester, ada tulisan namamu disitu dengan embel-embel ‘nyonya’ di depannya. Kau sedang dirawat karena demam tinggi yang tidak kunjung turun sehingga keluargamu memutuskan untuk membawamu ke Rumah Sakit. Saat itu aku sedang lelah karena baru pulang dari lapangan, ada tugas luar. Aku perhatikan sekilas statusmu itu tapi aku tak ikut berkomentar. Pikirku kau hanya sakit demam biasa, nanti juga sembuh. Waktu itu aku sedang tugas luar ke kabupaten tetangga.

Hari itu Senin tanggal 7 November 2016. Setelah 3 hari tugas luar, aku kembali ke kabupaten dimana kantorku dan kosanku berada. Aku tiba di kosku sekitar pukul 10 pagi, langsung beres-beres kamar, dan melakukan hal-hal rutin lainnya seperti nonton tivi, makan, solat, istrahat. Siang harinya A menelpon. Dia menanyakan apakah aku tau kalau dirimu sedang dirawat di Rumah Sakit, aku mengiyakan, hanya saja aku belum sempat menghubungimu. A sempat menjengukmu di Rumah Sakit. Kau berpesan padanya agar datang lagi menjengukmu hari Senin. Lalu aku dan A ngobrol soal lain. Setelah ngobrol di telpon dengan A, aku langsung mandi kemudian tidur siang.

Sedang nyenyak-nyenyaknya tidur siang, hpku bergetar. Aku lirik sekilas, ternyata telpon masuk dari seniorku di mapala yang memang masih sering berkomunikasi denganku. Dia langsung memberitahukan kabar duka, katanya temanku meninggal. aku yang tadinya masih mengantuk, bertanya padanya siapa temanku yang dimaksud. Dia lalu menyebut namamu. Ya Allah..! mendadak kantukku hilang seketika saking terkejutnya. Aku tidak percaya, kuulangi sekali lagi pertanyaanku, tapi tetap saja jawabannya sama. Innaalillaah..masih juga tidak percaya, begitu seniorku menutup telpon aku langsung menelpon A. A rupanya sudah mendengar kabar itu beberapa menit sebelum aku. Tantemu yang menelponnya. Saat aku telpon A, dia sedang bersiap-bersiap hendak ke Rumah Sakit. Aku tak tahu apa yang harus kulakukan. Aku telpon ibuku siapa tahu saja sempat ke Rumah Sakit untuk mewakili ketidakhadiranku, karena jenazahmu akan langsung dibawa pulang ke kampungmu. Ibuku menyanggupi. Aku telpon juga adik tingkatku semasa kuliah yang merupakan teman mainku sejak kecil karena kami bertetangga (dia juga kenal baik denganmu) untuk ke Rumah Sakit mewakiliku. Aku telpon teman-teman gengku untuk memberitahukan kabar duka ini. Aku lalu update status di facebook untuk mengabari teman-teman kita, seketika postinganku dibanjiri komentar teman-teman yang tidak percaya bahwa kau telah berpulang menghadapNya.

Sahabat, maafkan aku, disaat-saat sakitmu aku tidak menghubungimu karena kesibukanku. Maafkan aku karena tidak ada disaat-saat penting dalam hidupmu yaitu saat kau menikah. Maafkan aku karena tidak ada disaat-saat terakhir hidupmu, bahkan aku juga tidak turut mengantarmu ke peristrahatan terakhirmu.

Sahabat, kepergianmu menyisakan duka yang mendalam. Ditengah-tengah kebahagiaanmu karena semua harapan dan cita-citamu terwujud setelah sekian lama kau menunggu. Kau berhasil menyelesaikan S2 dan bergelar Master, kau menikah 6 bulan yang lalu dan sedang membawa amanah Allah berupa jabang bayi yang berusia 5 bulan lebih di kandunganmu. Sungguh-sungguh kebahagiaan yang tiada tara. Kamipun turut merasakan kebahagiaanmu. Tetapi takdir Allah berkata lain. Betapa singkat kau reguk kebahagiaan itu.

Sahabat, kepergianmu yang begitu tiba-tiba membuatku sadar bahwa ajal bisa datang kapan saja dan tidak seorangpun tau kapan waktunya. Tua, muda, bahkan kanak-kanak, yang sedang sakit bahkan yang sehat wal’afiat, dalam keadaan apapun dan dimanapun juga jika telah tiba ajalnya maka tidak ada seorangpun yang dapat menolaknya. Benarlah apa yang dikatakan Imam Al-Ghazali bahwasanya yang paling dekat dengan diri kita adalah maut karena ia merupakan janji Allah yang pasti datangnya. Dan bahwa setiap yang bernyawa pasti akan merasakan mati. Tinggal bagaimana kita mengisi hidup dengan memperbanyak amal shaleh untuk bekal kita kelak menghadapNya. 
  
Sahabat, tahukah kau?

19 tahun mengenalmu mengajarkanku mengelola emosi, menahan diri untuk tidak sensi. Lama kelamaan aku menjadi terbiasa. Perbedaan karakter kita justru membuat persahabatan kita semakin erat. Tidak banyak persahabatan yang mampu bertahan selama itu jika tidak bisa saling mengerti dan memahami. Menjadi sahabatmu membuatku mengerti, bahwa tidak perlu selalu menjadi sempurna. Bersahabat denganmu membuatku paham arti persahabatan itu sendiri.

Terimakasih sahabat, untuk persahabatan yang indah yang telah kita lalui bersama.

Terimakasih ya Allah, Engkau telah menjadikannya sahabat kami hingga akhir hayatnya. Semoga Engkau menempatkannya di surgaMu yang terindah...




In memoriam my beloved friend...