Sahabat,
ingatkah kau?
Kali pertama
kita bertemu di tahun ajaran baru perkuliahan, status kita masih maba
(mahasiswa baru). Saat itu kita sedang ramai di BAK fakultas kita -entah untuk
urusan apa, mungkin menyetor KRS (kartu rencana studi), yang jelas hari itu semua maba jadi tau nomor
stambuknya. Kebanyakan kita belum saling mengenal, kecuali sebagian teman yang
kebetulan berasal dari SMA yang sama atau dari lingkungan tempat tinggal yang
sama. Begitupun kita. Ada hal menarik di hari itu yang ternyata menjadi
perhatianmu -dan di kemudian hari kau
menceritakannya padaku- yaitu bahwa nomor stambuk kita berurutan. Aku 050 dan
kau 051. Kau menyadari itu. Ketika kemudian nama-nama kita dipanggil beserta
nomor stambuk oleh pegawai BAK, dan tiba giliranku, kau berkata dalam hati, “Oh
ini yang nomor stambuknya 050.” Dari situ kau mulai mengenalku walau baru
sebatas rupa dan nama, sedang aku belum lagi mengenalmu. Mungkin karena sifatmu
yang ceria dan supel, kau bisa dengan mudah mengenali orang. Sementara aku yang
cenderung kalem dan pragmatis, tidak demikian. Waktu itu angkatan kita masih
menerapkan penataran P4 secara random. Aku penataran di fakultas kita sedang
dirimu di fakultas ISIP. Saat opspek semua maba dikembailkan ke fakultasnya
masing-masing. Saat itulah aku mulai mengenali wajah sebagian teman-teman maba
termasuk dirimu, mungkin karena sifatmu yang ceria itu tadi sehingga mudah
dikenali, tapi namamu sama sekali belum aku tau.
Tibalah saatnya
kita mengikuti perkuliahan perdana. Teman-teman mulai berkenalan. Yang duduknya
berdekatan mulai saling bertegur sapa. Termasuk kita berdua tentu saja.
Awal-awal perkuliahan
itu kita belumlah menjadi teman akrab. Sebatas sering berkumpul bersama dengan
teman- teman lain saja. Aku justru akrab dengan beberapa teman lain dan akhirnya kami menjadi geng yang
kemana-mana selalu bersama. Sementara dirimu akrab dengan siapa saja tanpa
memilih-milih teman. Kau bisa masuk di geng mana saja dan bisa membawa diri
dengan baik. Sering saat aku dan gengku berkumpul kaupun juga ikut bergabung
bersama kami dan meramaikan suasana dengan keceriaanmu. Dan dimana saja ada
dirimu, pasti kami semua terbawa suasana ceria penuh canda tawa. Kau pandai
meramu suasana menjadi gembira dengan cerita dan tingkahmu yang kocak. Banyak
pengalaman konyolmu yang kau bagi saat kita bersama dan membuat kami semua
tertawa.
Menjadi
mahasiswa memang menyenangkan. Banyak hal-hal yang tidak kita temukan saat
sekolah, tetapi di perguruan tinggi bisa kita dapatkan. Salah satunya
kebebasan. Bebas memilih mata kuliah, bebas memilih mau masuk kelas atau tidak
(konsekuensinya kehadiran tidak boleh di bawah 75 persen untuk bisa mengikuti
ujian), termasuk bebas memilih eksul yang diminati. Di kampus kita, senior-senior
mulai sibuk mengiklankan ekskul mereka kepada mahasiswa baru. Dari
ngobrol-ngobrol denganmu seputar ekskul, kita berdua ternyata memiliki minat
yang sama, yaitu ingin menjadi mahasiswa pencinta alam (Mapala). Waktu itu yang
terlintas di benak kita adalah betapa menyenangkannya bisa menikmati keindahan
alam.
Proses untuk
menjadi mapala pun kita lalui bersama. Ada seorang teman gengku yang juga
berminat masuk mapala, jadilah kita bertiga mendaftarkan diri. Mulai dari
mengisi formulir, mengikuti materi kelas hingga pendidikan dasar (diksar) di
alam bebas. Oh ya, sewaktu pertama kali kita dikumpulkan oleh senior mapala,
ternyata angkatan diksar kita ada 12 orang yang terdiri dari 4 perempuan dan 8
laki-laki. Kita semua berkenalan. Yang seangkatan kuliah kita ada 5 orang,
sedang yang 7 orang lagi senior. Kita berempat perempuan adalah teman
seangkatan hanya saja yang seorang lagi berbeda jurusan. Sejak saat itu kita
berempat menjadi teman akrab. Sayangnya, teman gengku itu pindah kuliah kembali
ke kotanya. Tinggallah kita bertiga yang langsung menjadi sahabat, kemana-mana
selalu bersama. Walaupun aku masih sering berkumpul bersama gengku, tapi waktu
untuk kita bertiga berkumpul pun selalu ada. Entah itu di camp (sekretariat mapala) ataupun di rumah salah seorang dari kita.
Paling seringnya kita kumpul di rumah A, karena dia memiliki 3 orang saudara
yang semuanya perempuan hampir seumuran dengan kita, bahkan 2 orang saudaranya
pun anak mapala. Orangtuanya sudah terbiasa dengan aktifitas anak-anaknya,
sehingga kita lebih nyaman berkumpul di rumahnya bahkan sampai menginap.
Sahabat,
ingatkah kau?
Ada cerita lucu
sewaktu diksar. Waktu itu kita sedang mengikuti materi lapangan. Salah seorang
senior kita mengajarkan materi ormed (orientasi medan). Setelah selesai materi,
satu-persatu kita ditanyai mengenai materi yang baru saja dberikan. Dari
seluruh peserta diksar, hampir semua bisa menjawab pertanyaan yang diajukan,
kecuali dirimu. Padahal pertanyaan tersebut tidaklah sulit, mungkin pengaruh
udara yang sangat dingin di shelter 2 waktu itu sampai jawabanmu tidak benar.
Berulangkali ditanya, jawabanmu tetap salah. Teman-teman lain berusaha membantu
tapi kau tetap tak mengerti. Dan akhirnya kaupun menyerah. Dengan wajah yang innocent kaupun menjawab, “saya tidak
tau kak.” Kontan saja senior-senior yang ada disitu pun tertawa melihat mimikmu
saat mengatakan itu. Kami peserta diksar hanya bisa tersenyum karena takut
dihukum. Tapi akibat kau tak bisa menjawab, kita semua terkena hukuman (hukumannya
bersifat kolektif). Kita dihukum 1 seri (set) yang terdiri dari push up 10 kali, scuat jump 10 kali dan sit up
10 kali. Kadang-kadang kalau ada yang buat salah lagi, senior tidak segan-segan
memberi hukuman 3 seri. Berarti kelipatan 3 dari 1 seri. Tentu saja kita tidak
sanggup menyelesaikan semua serinya, maka dari itu kita berutang seri yang
harus “dibayar” kapanpun senior memintanya. Kita semua akhirnya berhasil
menyelesaikan diksar dan memperoleh slayer abu-abu.
Kemudian kita
bersama-sama mengikuti Wajib Daki untuk pengambilan slayer kuning (syarat untuk
menjadi anggota penuh). Waktu itu yang tersisa tinggal 7 orang, yang 5 lainnya
sudah tereliminasi di diksar. Kata orang, jika ingin mengetahui sifat asli
seseorang, ajaklah dia naik gunung. Ada benarnya juga, karena dingin yang
menusuk sampai ke tulang, belum lagi kelelahan dalam perjalanan mendaki, belum
lagi rasa lapar yang mendera, kadang membuat seseorang tidak bisa menahan
egonya. Saat itu hari sudah senja ketika kita sampai di padang edelweis. Para
senior sudah menunggu. Kita semua langsung dihukum 1 seri karena telat sampai.
Tidak tanggung-tangung hukumannya, disuruh berendam di sungai. Tau sendiri kan
air sungai di atas gunung dinginnya na’udzubillah. Kalau saja bukan karena Wajib
Daki mana mau aku disuruh berendam. Sedangkan mendaki gunung untuk fun saja aku hanya mampu cuci muka dan
sikat gigi. Berwudhu pun aku hanya mampu mengusap bukan membasuh, itupun hanya
sekali untuk setiap anggota tubuh yang wajib terkena air wudhu (karena yang
wajib hanya sekali) saking dinginnya. Tapi begitulah, semua prosesnya harus
dijalani jika ingin menjadi anggota penuh. Sekira 15 menit direndam, kita lalu
disuruh mendirikan bivak masing-masing tanpa boleh ganti baju alias masih
dengan baju basah. Kita segera mencari lokasi masing-masing yang dirasa cocok
untuk mendirikan bivak. Aku menemukan lokasi yang aku rasa cocok karena ada 1
pohon dan ilalang-ilalang disekitarnya. Tinggal mencari kayu panjang untuk
dijadikan tonggak agar bivaknya bisa berdiri. Setelah mendapatkan empat potong
kayu akupun kembali ke tempat yang aku rencanakan untuk bivak. Tapi betapa
terkejutnya aku ketika melihat kau sedang sibuk mendirikan bivakmu di situ.
Padahal aku sudah lebih dulu meng-kapling tempat itu, dan kau tau itu, sebab
aku mengumumkannya dan aku pastikan terdengar oleh teman-teman peserta Wajib
Daki yang lain. Aku protes, tapi kau tak menggubris. Alasanmu kau menganggap
tempat itu kosong jadi kau putuskan untuk memakainya. Tentu saja kosong,
kataku, karena aku masih mencari kayu untuk tonggak. Kita sempat adu mulut saat
itu tapi akhirnya aku mengalah. Aku tidak jadi mendirikan bivak karena hari
sudah mulai gelap dan aku tidak menemukan lokasi yang dekat dengan teman-teman
yang lain. Aku tidak mau mendirikan bivak di tempat yang lebih jauh. Untungnya
senior-senior mengerti. Malamnya, kita tidur dalam 1 bivak yaitu di bivak A
karena hujan, dan bivakmu terlalu kecil sehingga kecipratan air hujan. Kita
bertiga tidur bersempit-sempit sambil menggigil karena tidur dengan baju basah.
Sejak mulai
diksar di gunung N hingga Daki Wajib di gunung R tepatnya di padang edelweis,
kau selalu menjadi favorit senior-senior. Mereka suka mengganggumu hanya agar
mereka bisa tertawa. Kau selalu bisa membuat kami semua tertawa walaupun tanpa kau sadari. Oh ya,
sahabat kita A dulu sewaktu SMA sudah aktif di ekskul pencinta alam, jadi dia
sudah berpengalaman di alam bebas. Dia lebih tangkas dan lebih gesit daripada
kita berdua. Tapi dibandingkan kalian berdua, akulah yang paling lemah secara
fisik. Tubuhku kurus. Berat badanku waktu itu kisaran 38-39 kg. Berat badan A
kalo aku taksir mungkin saat itu 43 atau 44 kg. Dan kau, badanmu lebih berisi,
mungkin kisaran 46 atau 47 kg.Singkat cerita, akhirnya kita bertujuh resmi
menjadi anggota penuh.
Sahabat, ingatkah
kau?
Kejadian
perebutan tempat bivak itu adalah yang pertama kalinya kita berselisih. Tapi
setiap kali terjadi perselisihan, kita selalu saling memaafkan dan tidak
sedikitpun mengurangi persahabatan kita. Justru perbedaan itulah yang membuat
kita unik. Kita bertiga memiliki karakter yang berbeda. A adalah seorang yang cerdas,
mandiri (selalu berusaha menyelesaikan permasalahan atau pekerjaan seorang diri
dan tidak mau dibantu), sebaliknya suka membantu orang lain menyelesaikan
masalahnya. Lebih bisa berpikir jernih dalam memutuskan sesuatu, tapi cenderung
ceroboh dalam melakukan sesuatu. Dia juga panikan dan kerasa kepala. Dan
khususnya untuk masalah “hati” dia
cenderung tertutup. Meskipun begitu, dia sangat care dan senang menolong teman. Jika ada yang butuh pertolongan
dialah yang lebih dulu menawarkan. Dia selalu berusaha menyenangkan orang lain.
Kau sendiri adalah seorang yang agak sulit dimengerti. Kau agak cerewet dan
keras kepala. Cenderung tidak peduli hal-hal kecil. Meskipun begitu keceriaanmu
membuat hadirmu selalu dirindukan. Kau juga mandiri (ini karena kau tinggal di
rumah nenekmu, sebab orangtuamu jauh). Kau pintar masak, pandai mengurus rumah dan
pandai mengurus anak. Tantemu punya 3 orang anak yang sejak mereka kecil kau
yang mengurus. Kau juga punya saudara-saudara kandung dan saudara-saudara
sepupu yang selalu mengandalkanmu untuk mengurus mereka. Kau sangat keibuan di
rumah, sebaliknya di luar rumah kau begitu tegar dan kuat bagai batu karang.
Tinggal jauh dari orangtua sejak SMA membuatmu lebih cepat dewasa. Tentunya
berbeda dengan kami berdua yang tinggal
dengan orangtua, beban hidup tidaklah seberat dirimu. Tapi kau mampu
menutupinya dengan keceriaan dan kerianganmu. Jika ada orang yang hanya
mengenalmu sekilas, pasti mereka akan berpikir bahwa kau tidak punya beban
hidup. Itu karena kau selalu ceria. Menurutku kau hebat dalam hal-hal tertentu
yang aku maupun A tidak bisa melakukannya. Mengenai diriku (aku hanya mendengar
dari kalian berdua dan dari orang-orang terdekat), pembawaanku kalem, lembut,
suka mengalah, sensitif, sangat detail, dan perfeksionis. Nah, berbeda sekali
bukan? Kesamaan kita bertiga adalah kita supel, mudah bergaul dengan siapa
saja. Sehingga tidak heran kita bertiga begitu dikenal (mungkin karena perempuan
yang bergabung di mapala sangat sedikit sehingga mudah dikenali) hingga ke
fakultas lain, bahkan ke kampus lain. Oh ya, kita bertiga punya julukan ‘3
rembulan’. Entah siapa yang memulai memberi julukan itu, dan itu melekat hingga
sekarang.
Sahabat,
ingatkah kau?
Kita bertiga
punya ritual, siapa yang berulang tahun harus menraktir, dan yang tidak
berulang tahun harus memberi kado. Setiap tahun selama kuliah kita melakukan
itu. Kadang-kadang tanpa kado karena maklum saja masih mahasiswa. Kadang-kadang
pula traktirannya hanya berupa pisang goreng yang kita nikmati bersama di senja
hari di tepi pantai sambl memandangi ombak yang berdebur. Oh ya, kita bertiga
juga suka pantai, khususnya aku dan A. Kau sudah terbiasa dengan pantai karena
rumah orangtuamu di kampung letaknya dekat dengan pantai. Kau bahkan pandai
berenang, sementara aku dan A tidak bisa.
Kadang kalau
aku dan A ke rumahmu, kami mendapati kau sedang memasak. Kita lalu makan
bersama. Masakanmu enak, kami menyukainya. Kau juga tau sambal kesukaanku dan
kau selalu membuatkannya untukku setiap kali aku ke rumahmu. Kadang pula jika
kau pulang kampung, aku selalu menitip dibuatkan kue bingka. Ibumu paling jago
membuat bingka, apalagi kalau dicampur durian, enak sekali. Dan kau selalu membawakannya
untukku. Untuk masalah “hati” pun kita lebih sering bercerita (curhat) berdua ketimbang
dengan A. Kau lebih terbuka menceritakan hubunganmu dengan lawan jenis
kepadaku, begitupun aku. Sedangkan A, karena dia lebih tertutup untuk hal-hal
seperti itu, kitapun jadi agak malu untuk terbuka padanya. A teman yang asyik
untuk curhat sebenarnya, karena dia selalu bisa memberikan solusi yang
menenangkan. Untuk masalah-masalah yang lain, tempat curhat kita adalah A.
Kadang jika
sedang diskusi dengan teman-teman di camp,
kalian berdua paling gigih mempertahankan pendapat masaing-masing, tidak ada
yang mau mengalah. Itu karena kalian berdua sama-sama keras kepala. Kadang pula
kita bertiga sependapat dalam 1 hal, lalu saling mendukung mempertahankan
pendapat. Teman-teman diskusi kita sampai kewalahan berdebat dengan kita. Ah,
benar-benar seru masa-masa kuliah kita dulu.
Sahabat,
ingatkah kau?
Suatu kali kita
pernah pergi mendaki gunung bersama ke padang edelweis. Tujuan sebenarnya
adalah ke danau yang terletak di atas gunung itu. Jalur untuk kesana melewati
padang edelweis. Waktu itu kalau tidak salah kita ada 10 orang. Perempuan 4
orang; aku, kau, dan yang 2 lagi junior kita. Kita mendirikan tenda di padang
edelweis. Esoknya, pagi-pagi setelah sarapan, perjalanan menuju danau pun
dimulai. Rencananya siang hari ketika balik dari danau kita langsung berangkat
pulang. Kau dan 1 orang junior kita yang perempuan tidak ikut. Kalian berdua
mengajukan diri menjaga tenda. Sungguh disayangkan sebenarnya, karena jauh-jauh
kesana tapi tidak terus sampai ke danau. Padahal danau tersebut belum begitu
dikenal orang. Untuk sampai kesana pun medannya cukup sulit, harus membuka
jalur baru, sampai-sampai kita harus memasang string line agar tidak tersesat di perjalanan pulang. Tapi kau
tetap pada keputusanmu. Akhirnya kami berdelapan pun berangkat dengan tidak
lupa membuat kesepakatan untuk tidak memetik edelweis karena bunga itu sudah
mulai langka. Setelah melalui perjalanan yang cukup sulit akhirnya kami
menemukan danau tersebut. Saat itu siang hari dan panasnya sangat terik. Tidak
ada tempat berteduh karena di atas gunung itu pepohonannya kering meranggas.
Kami sangat lelah dan haus. Tapi semua itu terbayar saking puas dan senangnya
dapat menemukan danau yang selama ini hanya kami dengar-dengar saja namanya.
Kami merasa sangat beruntung. Tidak lama-lama berada di danau, kamipun turun
karena akan langsung berangkat pulang. Sesampainya di padang edelweis, dari
kejauhan aku melihat kau dan junior kita sedang asik memetik bunga edelweis.
Aku menghampirimu dan mengingatkan agar jangan dipetik lagi, tapi kau tidak
mengindahkan. Kau terus saja memetik edelweis. Itu menyebabkan kita beradu
mulut lagi. Setelah beristrahat sejenak, kitapun segera mengemasi
barang-barang. Karena hari sudah sore jadi harus bergegas agar tidak kemalaman
di jalan. Kitapun akhirnya pulang.
Sahabat,
ingatkah kau?
Saat kau tidak
mengindahkan teguranku untuk tidak memetik edelweis lagi itu sangat membekas di
hatiku. Bukankah kita sudah sepakat untuk tidak memetiknya? Tapi mengapa kau melanggar kesepakatan itu? Padahal harusnya kau menjadi contoh untuk
junior kita bukannya malah bersama-sama melanggar kesepakatan. Junior kita
mencontoh dirimu. Dia tidak mungkin berani memetik edelweis karena takut
dimarahi oleh senior-seniornya. Hal seperti itu mungkin menurutmu sepele, tapi
menurutku itu hal yang prinsipil.
Keesokan
harinya di kampus, aku menghindarimu. Masih kesal rasanya. Seharian itu aku
berkumpul dengan gengku. Tapi sehari saja kita tidak bertegur sapa rasanya
seperti seminggu. Sungguh aku tidak bisa lama mendiamkanmu. Walau bagaimanapun
kau adalah sahabatku. Besoknya, aku yang lebih dulu menegurmu dan akhirnya kita
kembali seperti biasa lagi.
Sahabat,
ingatkah kau?
Kau yang
pertama kali menjulukiku “miss perfect”.
Karena menurutmu aku perfeksionis.
Apa-apa harus sempurna. Tulisan rapi, catatan perkuliahan rapi, Lipatan baju di
lemari rapi, tempat tidur rapi, dan semua-semuanya harus rapi. “Rapi jali”
istilahmu. Kau bahkan pernah berkomentar ketika melihat tempat tidurku yang
rapi, “Kalau rapi begini bisa-bisa terlalu nyenyak nanti tidurnya, jadi tidak
bisa bangun tahadjud.” Ah, kata-katamu itu masih terngiang hingga sekarang. Kau
sahabatku yang selalu menjaga solat lima waktu.
Sahabat,
ingatkah kau?
Kita pernah jalan
berdua ke lokasi jembatan yang belum jadi. Kau membawa kamera digital. Sampai
disana kita foto-foto. Waktu itu belum zamannya handphone, apalagi yang pakai
kamera. Sedang asyik foto-foto, tiba-tiba datang seorang ibu minta difoto juga.
Kau mengiyakan. Kau potretlah ibu itu beberapa kali dengan berbagai posenya.
Setelah itu si ibu minta di antarkan fotonya ke rumahnya. Dia lalu memberikan
alamat lengkapnya. Aku sudah punya firasat pasti foto-foto si ibu tidak akan
kau antarkan ke rumahnya. Bahkan tidak akan kau cetak fotonya. Sempat aku
bilang padamu agar jangan berjanji, tapi seperti biasa kau tidak menggubris.
Kau berjanji pada ibu itu akan mengantarkannya. Setelah ibu itu pergi, kita
sempat adu mulut lagi. Menurutmu, kau hanya ingin menyenangkan ibu itu, tapi
menurutku kau memberi harapan palsu. Kasian ibu itu pasti menunggu-nunggu
fotonya. Kau tetap bersikeras hanya ingin menyenangkan hatinya. Aku tau
maksudmu baik, tapi bukankah lebih baik jika tidak berbohong? Dan benarlah,
foto ibu itu jangankan kau antarkan, kau cetak pun tidak. Ah, betapa kita
selalu berselisih untuk hal-hal yang tidak kau anggap penting, sebaliknya
menurutku penting.
Sahabat,
ingatkah kau?
Waktu kuliah
dulu kita bertiga mengidolakan penyanyi yang sama. Semua lagu milik penyanyi itu
kita suka. Bahkan A punya semua albumnya (dulu masih berupa kaset). Biasanya
kalau kita sedang menginap di rumah A, kita sering memutar lagu favorit kita
sambil ikut bernyanyi. Aku dan A menyanyi biasa saja, sementara kau menyanyi
dengan penuh penghayatan. Apalagi kalau itu lagu romantis atau lagu patah hati,
kau akan menyanyikannya dengan wajah sendu dan dengan mata terpejam. Ah,
sungguh pemandangan yang menghibur. Aku dan A pun tertawa jadinya.
Kau dan A suka
sekali menyanyi. Suara kalian bagus. Biasanya kalau ada hajatan yang mengundang
kita bertiga, pasti kalian berdua dengan senang hati menyumbangkan lagu. Aku
biasanya hanya ikut-ikutan menyanyi saja biar ramai. Kalau ada teman yang
sedang bermain gitar, kau dan A langsung merubungnya dan minta diiringi bernyanyi.
Teman itupun sampai kelelahan dan menyerah karena terlalu lama melayani kalian.
Waktu kuliah
dulu kita bertiga selalu bersama. Selalu saling bela jika ada salah seorang
dari kita dijelek-jelekkan oleh orang lain. Jika ada orang yang berkata buruk
tentangmu, maka aku dan A adalah pembela yang utama dan terdepan. Begitu pula
jika ada yang berkata buruk tentangku dan A, maka kau akan jadi pembela utama. Kita
selalu saling menyemangati dan memotivasi. Mungkin mereka iri melihat
persahabatan kita. Karena walaupun ada riak-riak yang membuat kita berselisih,
kita selalu saling mencari, selalu saling membutuhkan, dan selalu saling
memaafkan. Dalam suka dan duka kita selalu bersama. Bercanda, tertawa, dan
menangis bersama.
Sahabat,
ingatkah kau?
Kau lebih dulu diwisuda
ketimbang aku dan A. 6 bulan setelah kau wisuda, aku dan A pun diwisuda.
Bahagia rasanya telah menyelesaikan kuliah, tetapi juga sedih karena harus berpisah
dengan teman-teman kuliah. Singkat cerita, kau kembali ke kampungmu dan menjadi
PNS di kotamu. A menjadi PNS juga di salah satu kabupaten yang dekat dari kota P,
hanya berjarak 45 menit. Sementara aku bekerja di salah satu kabupaten yang
sangat jauh dari kota P, 14 jam perjalanan darat ditambah 2 jam perjalanan
laut, juga menjadi PNS.
Sebagai PNS
yang bertugas di lapangan, aku menjadi lebih sibuk dari hari ke hari. Kita
mulai jarang berkomunikasi karena sibuk dengan urusan masing-masing. Tapi
setiap kali aku pulang ke kotaku, yaitu kota P, kita sempatkan untuk kumpul.
Kaupun menyempatkan diri untuk datang karena kampungmu lumayan dekat dari kota
P, hanya berjarak 2 jam perjalanan. Apalagi kau juga melanjutkan studi S2 di
kota P yang perkuliahannya seminggu 2 kali. Kau dan A lebih sering bertemu.
Kadang kau menginap di rumahnya jika kau sedang ada mata kuliah. Kadang kalian
berdua hang out, nonton atau makan
bersama. Aku memang sering absen karena tidak memungkinkan untuk bisa pulang
setiap saat.
Kita jalan
bareng lagi bulan Maret yang lalu saat ada gerhana matahari total di kotaku.
Aku, kau, A, seorang teman gengku, dan keluarga A menyaksikan gerhana matahari
dari salah satu spot yang kebetulan disitu ada beberapa orang peneliti dari
Jepang. Setelah itu kita makan bersama di rumah keluarga A.
7 bulan yang
lalu aku mendengar kabar bahagiamu, bahwa kau akan menikah dengan seseorang
yang sedang menjalin hubungan denganmu kurang dari setahun. Aku turut bahagia
mendengarnya, mengingat kau yang paling sering galau urusan jodoh. Pernikahanmu
akan dilangsungkan bulan Mei, bulan dimana aku sedang sibuk-sibuknya dengan
agenda nasional yang dilaksanakan setiap 10 tahun sekali, yang waktu
pelaksanaannya sebulan penuh selama bulan Mei. Sedang sibuk-sibuknya di
lapangan, aku jatuh sakit. Aku putuskan untuk pulang ke kotaku agar bisa
mendapatkan perawatan lebih. Aku hanya diberi izin seminggu dari kantor.
Sementara hari pernikahanmu kian dekat tetapi aku tidak mungkin bisa menambah
izin lagi karena pekerjaan lapangan menunggu. Akhirnya aku dan 2 orang teman
gengku sepakat untuk ke kampungmu sehari sebelum pernikahanmu. Kau terlihat
bahagia saat itu. Kita makan siang bersama di rumahmu. Kami sengaja datang
sehari sebelumnya karena keesokan harinya aku sudah harus kembali ke tempat
tugasku sedangkan 2 orang teman gengku punya urusan masing-masing yang tidak
bisa ditunda. Kau bercerita bahwa kau baru saja ujian tesis 3 hari sebelumnya
sehingga fiskmu agak sedikit lelah. Aku bahagia mendengarnya. Aku minta maaf
karena tidak dapat menghadiri pernikahanmu besoknya, dan kau memaklumi itu.
Besoknya, aku boarding pagi-pagi
sekali. Hari itu juga aku sampai di tempat tugas, dan di hari itu juga kau
menikah.
2 bulan yang
lalu aku kembali lagi ke kotaku. Aku dengar kabarmu telah mengandung 4 bulan.
Aku bahagia mendengarnya. aku dan A janjian hang
out bareng tanpa dirimu karena kondisimu agak lemah selama trimester
pertama. Kami bergantian ngobrol denganmu via hp. kau katakan padaku bahwa kau
diharuskan bed rest oleh dokter. Kau
tidak diizinkan mengendarai sepeda motor sendiri, jadi setiap kali ke kantor
kau diantar jemput oleh suamimu. Aku sarankan agar kau banyak istrahat, jangan
dipaksakan ke kantor jika memang kondisimu lemah. Dan kau mengiyakan.
Seminggu yang lalu
aku melihat di facebook ada postingan status terbarumu sedang di Rumah Sakit,
lengkap dengan foto lenganmu yang diplester, ada tulisan namamu disitu dengan
embel-embel ‘nyonya’ di depannya. Kau sedang dirawat karena demam tinggi yang
tidak kunjung turun sehingga keluargamu memutuskan untuk membawamu ke Rumah
Sakit. Saat itu aku sedang lelah karena baru pulang dari lapangan, ada tugas
luar. Aku perhatikan sekilas statusmu itu tapi aku tak ikut berkomentar.
Pikirku kau hanya sakit demam biasa, nanti juga sembuh. Waktu itu aku sedang tugas
luar ke kabupaten tetangga.
Hari itu Senin
tanggal 7 November 2016. Setelah 3 hari tugas luar, aku kembali ke kabupaten
dimana kantorku dan kosanku berada. Aku tiba di kosku sekitar pukul 10 pagi,
langsung beres-beres kamar, dan melakukan hal-hal rutin lainnya seperti nonton
tivi, makan, solat, istrahat. Siang harinya A menelpon. Dia menanyakan apakah
aku tau kalau dirimu sedang dirawat di Rumah Sakit, aku mengiyakan, hanya saja
aku belum sempat menghubungimu. A sempat menjengukmu di Rumah Sakit. Kau
berpesan padanya agar datang lagi menjengukmu hari Senin. Lalu aku dan A
ngobrol soal lain. Setelah ngobrol di telpon dengan A, aku langsung mandi
kemudian tidur siang.
Sedang
nyenyak-nyenyaknya tidur siang, hpku bergetar. Aku lirik sekilas, ternyata
telpon masuk dari seniorku di mapala yang memang masih sering berkomunikasi
denganku. Dia langsung memberitahukan kabar duka, katanya temanku meninggal.
aku yang tadinya masih mengantuk, bertanya padanya siapa temanku yang dimaksud.
Dia lalu menyebut namamu. Ya Allah..! mendadak kantukku hilang seketika saking terkejutnya.
Aku tidak percaya, kuulangi sekali lagi pertanyaanku, tapi tetap saja
jawabannya sama. Innaalillaah..masih juga tidak percaya, begitu seniorku
menutup telpon aku langsung menelpon A. A rupanya sudah mendengar kabar itu
beberapa menit sebelum aku. Tantemu yang menelponnya. Saat aku telpon A, dia
sedang bersiap-bersiap hendak ke Rumah Sakit. Aku tak tahu apa yang harus
kulakukan. Aku telpon ibuku siapa tahu saja sempat ke Rumah Sakit untuk
mewakili ketidakhadiranku, karena jenazahmu akan langsung dibawa pulang ke
kampungmu. Ibuku menyanggupi. Aku telpon juga adik tingkatku semasa kuliah yang
merupakan teman mainku sejak kecil karena kami bertetangga (dia juga kenal baik
denganmu) untuk ke Rumah Sakit mewakiliku. Aku telpon teman-teman gengku untuk
memberitahukan kabar duka ini. Aku lalu update status di facebook untuk
mengabari teman-teman kita, seketika postinganku dibanjiri komentar teman-teman
yang tidak percaya bahwa kau telah berpulang menghadapNya.
Sahabat,
maafkan aku, disaat-saat sakitmu aku tidak menghubungimu karena kesibukanku.
Maafkan aku karena tidak ada disaat-saat penting dalam hidupmu yaitu saat kau
menikah. Maafkan aku karena tidak ada disaat-saat terakhir hidupmu, bahkan aku
juga tidak turut mengantarmu ke peristrahatan terakhirmu.
Sahabat,
kepergianmu menyisakan duka yang mendalam. Ditengah-tengah kebahagiaanmu karena
semua harapan dan cita-citamu terwujud setelah sekian lama kau menunggu. Kau berhasil
menyelesaikan S2 dan bergelar Master, kau menikah 6 bulan yang lalu dan sedang membawa
amanah Allah berupa jabang bayi yang berusia 5 bulan lebih di kandunganmu.
Sungguh-sungguh kebahagiaan yang tiada tara. Kamipun turut merasakan
kebahagiaanmu. Tetapi takdir Allah berkata lain. Betapa singkat kau reguk
kebahagiaan itu.
Sahabat, kepergianmu
yang begitu tiba-tiba membuatku sadar bahwa ajal bisa datang kapan saja dan
tidak seorangpun tau kapan waktunya. Tua, muda, bahkan kanak-kanak, yang sedang
sakit bahkan yang sehat wal’afiat, dalam keadaan apapun dan dimanapun juga jika
telah tiba ajalnya maka tidak ada seorangpun yang dapat menolaknya. Benarlah
apa yang dikatakan Imam Al-Ghazali bahwasanya yang paling dekat dengan diri
kita adalah maut karena ia merupakan janji Allah yang pasti datangnya. Dan bahwa
setiap yang bernyawa pasti akan merasakan mati. Tinggal bagaimana kita mengisi
hidup dengan memperbanyak amal shaleh untuk bekal kita kelak menghadapNya.
Sahabat,
tahukah kau?
19 tahun mengenalmu
mengajarkanku mengelola emosi, menahan diri untuk tidak sensi. Lama kelamaan
aku menjadi terbiasa. Perbedaan karakter kita justru membuat persahabatan kita
semakin erat. Tidak banyak persahabatan yang mampu bertahan selama itu jika
tidak bisa saling mengerti dan memahami. Menjadi sahabatmu membuatku mengerti,
bahwa tidak perlu selalu menjadi sempurna. Bersahabat denganmu membuatku paham
arti persahabatan itu sendiri.
Terimakasih
sahabat, untuk persahabatan yang indah yang telah kita lalui bersama.
Terimakasih ya
Allah, Engkau telah menjadikannya sahabat kami hingga akhir hayatnya. Semoga
Engkau menempatkannya di surgaMu yang terindah...
In memoriam my beloved friend...
Yuk Merapat Best Betting Online Hanya Di AREATOTO
BalasHapusDalam 1 Userid Dapat Bermain Semua Permainan
Yang Ada :
TARUHAN BOLA - LIVE CASINO - SABUNG AYAM - TOGEL ONLINE ( Tanpa Batas Invest )
Sekedar Nonton Bola ,
Jika Tidak Pasang Taruhan , Mana Seru , Pasangkan Taruhan Anda Di areatoto
Minimal Deposit Rp 20.000 Dan Withdraw Rp.50.000
Proses Deposit Dan Withdraw ( EXPRES ) Super Cepat
Anda Akan Di Layani Dengan Customer Service Yang Ramah
Website Online 24Jam/Setiap Hariny